Sapardi
Djoko Damono lahir pada 20 Maret 1940 di Surakarta, Jawa Tengah. Sejak muda, ia
sudah menunjukkan ketertarikannya pada dunia sastra. Ia menempuh pendidikan di
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan
fokus pada Sastra Inggris.
Ketertarikannya
pada sastra tidak hanya terbatas pada menulis puisi, tetapi juga dalam bidang
akademik. Kariernya sebagai akademisi dimulai dengan menjadi dosen di berbagai
universitas, termasuk Universitas Diponegoro dan Universitas Indonesia. Ia juga
pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UI dan menjadi salah satu tokoh
penting dalam pengembangan sastra Indonesia.
Selain
mengajar dan mengembangkan kurikulum sastra, Sapardi juga aktif dalam berbagai
organisasi sastra serta menjadi redaktur majalah Horison, yang berperan besar
dalam perkembangan sastra Indonesia. Ia banyak berkontribusi dalam mengenalkan
puisi dan sastra kepada masyarakat luas, baik sebagai akademisi maupun sebagai
praktisi.
Salah
satu ciri khas puisi Sapardi adalah kesederhanaannya. Ia tidak menggunakan
bahasa yang rumit atau metafora yang sulit dipahami, tetapi justru memilih
kata-kata yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Namun, di balik
kesederhanaan itu, puisinya memiliki kedalaman makna yang luar biasa.
Puisi
Aku Ingin adalah salah satu contoh terbaik dari gaya khas Sapardi. Dengan hanya
beberapa baris, ia mampu menggambarkan cinta yang tulus dan tanpa syarat.
Begitu pula dengan Hujan Bulan Juni, yang menggambarkan kesabaran dan keteguhan
hati dalam menghadapi kehidupan.
Selain
puisi-puisinya yang terkenal, Sapardi juga menulis esai dan menerjemahkan
berbagai karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Kontribusinya dalam
dunia sastra tidak hanya sebagai penyair, tetapi juga sebagai akademisi dan
penerjemah yang memperkaya literatur Indonesia.
Tak
hanya itu, beberapa puisinya telah diadaptasi ke dalam lagu dan bahkan film.
Lagu seperti Hujan Bulan Juni yang dinyanyikan oleh berbagai musisi Indonesia
membuktikan bahwa karya-karyanya tak hanya hidup di atas kertas, tetapi juga
meresap ke dalam budaya populer.
Sapardi
Djoko Damono meninggal dunia pada 19 Juli 2020 di Tangerang Selatan.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia sastra Indonesia. Namun,
karya-karyanya tetap hidup dan terus menginspirasi banyak orang.
Banyak
generasi muda yang mengenal puisinya melalui media sosial, menjadikannya
sebagai kutipan dalam berbagai momen penting dalam hidup mereka. Bahkan,
beberapa puisinya telah diadaptasi menjadi lagu dan film, menunjukkan betapa
besar pengaruhnya dalam budaya populer Indonesia.
Selain
itu, berbagai penghargaan telah diberikan kepadanya sebagai bentuk apresiasi
atas kontribusinya dalam dunia sastra. Ia telah menerima berbagai penghargaan
sastra nasional maupun internasional, membuktikan bahwa karyanya memiliki nilai
yang tinggi dan diakui oleh banyak pihak.
Tak
hanya berupa penghargaan, warisan Sapardi juga terlihat dalam generasi penyair
Indonesia yang lahir setelahnya. Banyak penyair muda yang terinspirasi oleh
gaya bertuturnya, menjadikan puisi sebagai medium yang lebih dekat dengan
kehidupan sehari-hari. Bahkan, beberapa festival sastra rutin mengadakan sesi
khusus untuk mengenang dan membahas karya-karya Sapardi.
Meskipun
sudah berpulang, warisan Sapardi tetap relevan dalam perkembangan sastra
Indonesia. Dengan gaya puisi yang sederhana dan intim, ia telah membuka pintu
bagi generasi baru untuk bereksperimen dengan bentuk dan tema puisi yang lebih
dekat dengan pengalaman pribadi.
Di
era digital, puisi Sapardi terus beredar di berbagai platform. Banyak anak muda
yang membagikan puisi-puisinya di media sosial, menjadikan kata-katanya tetap
hidup dan dikenang. Bahkan, beberapa karyanya telah diadaptasi menjadi novel
dan film, memperluas jangkauan sastra dalam dunia hiburan dan budaya pop.
Hal
ini menunjukkan bahwa Sapardi tidak hanya menjadi legenda dalam dunia sastra,
tetapi juga menjadi bagian dari perjalanan panjang sastra Indonesia yang terus
berkembang. Puisi-puisinya tetap relevan dalam berbagai era, menembus batas
waktu dan generasi.
Sapardi
Djoko Damono adalah sosok yang tidak hanya dikenal sebagai penyair, tetapi juga
sebagai akademisi dan penggerak sastra Indonesia. Karya-karyanya yang sederhana
namun penuh makna telah menyentuh hati banyak orang dan akan terus dikenang
sepanjang masa.
Meskipun ia telah tiada, puisinya tetap hidup, mengalir seperti hujan di bulan Juni—tenang, lembut, dan penuh makna. Dengan warisan yang ia tinggalkan, Sapardi akan selalu menjadi salah satu nama besar dalam sastra Indonesia, membawa inspirasi bagi generasi sekarang dan mendatang.