Setiap bulan, ratusan mata tertuju pada layar yang sama—bukan untuk rapat kerja, bukan pula demi presentasi sekolah. Tapi demi satu hal yang tak kalah penting: berbagi cerita lewat buku. Itulah yang terjadi di Mad Tea Book Club, sebuah komunitas daring yang belakangan ini mencuri perhatian para bookworm, pembelajar bahasa Inggris, dan siapa pun yang rindu ruang aman untuk berdiskusi tanpa takut salah.
Komunitas
ini lahir pada Maret 2021, di tengah masa pandemi yang sunyi dan membatasi
banyak interaksi. Tiga perempuan—Sherry, Airin, dan Krisan—memulai inisiatif
ini bukan dari niat besar, tapi dari kerinduan akan percakapan yang bermakna.
Mereka ingin menciptakan ruang santai, di mana siapa pun bisa berbicara dalam
bahasa Inggris tanpa takut salah grammar atau dihakimi karena aksen.
Alih-alih
formal seperti kelas bahasa, Mad Tea Book Club justru lebih mirip seperti ruang
tamu yang hangat. Di sinilah diskusi tumbuh dengan ringan, kadang diselingi
tawa, kadang juga menyentuh sisi emosional dari sebuah buku. Mulai dari novel
klasik, fiksi kontemporer, hingga tema-tema seperti buku-buku yang pernah
dilarang terbit, semuanya dibedah bersama-sama.
Sesi-sesinya
rutin diadakan setiap bulan, biasanya di malam hari, agar bisa menjangkau
peserta dari berbagai zona waktu. Formatnya bervariasi, mulai dari silent
reading session, diskusi terbuka, hingga sesi spesial bersama penulis tamu.
Salah satu sesi paling dikenang adalah ketika komunitas ini menghadirkan
Lucille Abendanon, penulis dan jurnalis internasional, yang berbagi proses
kreatif dan kisah di balik tulisannya.
Bukan
hanya buku yang jadi topik hangat—tapi juga kehidupan, pengalaman, dan refleksi
personal. Banyak peserta yang datang bukan hanya untuk membaca, tetapi juga
untuk merasa terhubung. Seorang anggota dari luar negeri bahkan menulis
testimoni: “I met the sweetest of people… it was so fun hearing them talk about
books and their lives.”
Kekuatan
Mad Tea Book Club justru terletak pada semangatnya untuk menerima semua orang,
tak peduli level kemampuan bahasa Inggrisnya. Tak jarang peserta pertama kali
datang dengan gugup, tapi pulang dengan senyum lebar karena merasa dihargai dan
tidak sendirian. Di sinilah belajar jadi sesuatu yang menyenangkan dan
bersahabat.
Kini,
komunitas ini memiliki ribuan pengikut di Instagram dan X (@madteabookclub),
dengan ratusan anggota aktif yang bergantian hadir setiap bulannya. Semua
kegiatan diumumkan secara terbuka—biasanya seminggu sebelum sesi
berlangsung—dan siapa pun bisa ikut, tanpa biaya, tanpa syarat.
Karena
di Mad Tea Book Club, teh bukan hanya sekadar minuman hangat. Ia menjadi simbol
dari kebersamaan, kenyamanan, dan percakapan yang bermakna. Di tengah dunia
yang serba cepat dan penuh tuntutan, komunitas ini mengingatkan kita bahwa
kadang, yang paling kita butuhkan hanyalah buku bagus, teman bicara, dan
secangkir teh yang tenang.